Curug Lawe: Keindahan Tersembunyi di Tengah Rimba yang Dijaga Warga

Angin pagi menyapu lembut wajah saat kami menapaki jalur tanah yang masih basah sisa hujan semalam. Derak daun yang bergesekan, kicauan burung liar, dan aroma

Regional

Curug Lawe
Beberapa pengunjung sedang menikmati suasana Air Terjun Semirang yang terletak di Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.

Angin pagi menyapu lembut wajah saat kami menapaki jalur tanah yang masih basah sisa hujan semalam. Derak daun yang bergesekan, kicauan burung liar, dan aroma tanah basah jadi penanda bahwa kami telah memasuki kawasan alam yang belum tersentuh modernitas. Inilah Curug Lawe, air terjun megah di lereng Gunung Ungaran, Kabupaten Semarang. Bukan sekadar wisata, Curug Lawe adalah tempat di mana alam dan manusia bersatu menjaga kelestarian.

Perjalanan ini dimulai dari gerbang masuk Desa Kalisidi. Setiap langkah menuju lokasi menjadi pengalaman spiritual tersendiri—seakan semesta sedang menunjukkan betapa kecilnya manusia di tengah rimbunnya hutan dan gemuruh air dari kejauhan. “Banyak orang datang ke sini bukan cuma untuk liburan, tapi buat menyatu dengan alam,” kata Pak Dul, pengelola yang sudah hampir dua dekade mengabdikan diri di tempat ini.

Jembatan Romantis menjadi salah satu spot foto yang cukup populer di kawasan wisata Air Terjun Semirang

 

Curug Lawe berada di Desa Kalisidi, Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Dari pusat Kota Semarang, dibutuhkan sekitar 45 menit perjalanan darat menggunakan sepeda motor atau mobil untuk sampai ke gerbang utama kawasan wisata. Rute yang dilalui cukup menantang—jalan menanjak, berliku, dan sebagian masih berupa paving dan tanah bebatuan. Namun, semua kelelahan perjalanan itu akan terbayar lunas saat menyaksikan panorama hijau sejauh mata memandang.

Setelah melewati pintu masuk, pengunjung masih harus berjalan kaki sekitar 1,5 kilometer menuju curug. Medannya bervariasi—mulai dari jalan setapak, jembatan bambu, hingga tangga curam yang dibangun dari bahan alam. Trekking ini jadi bagian dari pengalaman yang tak terlupakan, sekaligus ujian ringan sebelum menyaksikan megahnya air terjun setinggi 30 meter di ujung perjalanan.

Menurut penuturan Pak Dul, Curug Lawe dulunya adalah kawasan hutan liar milik Perhutani. Tidak banyak orang tahu tentang keberadaan air terjun ini hingga sekitar awal tahun 2000-an. Melihat potensi alam yang luar biasa, Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Kalisidi menggagas ide untuk mengelola kawasan ini secara mandiri dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Dulu hutan ini nggak ada yang berani masuk. Rimbun, banyak binatang liar. Tapi karena warga sadar pentingnya konservasi, kita mulai bersih-bersih, bikin jalur, bangun fasilitas dasar,” jelas Pak Dul. Sejak itu, kerja sama antara LMDH dan Perhutani resmi dijalin, dengan sistem bagi hasil dan pengelolaan berbasis masyarakat. Kini, Curug Lawe menjadi contoh sukses pengembangan wisata berbasis alam yang tetap ramah lingkungan.

Satu hal yang membuat Curug Lawe istimewa adalah suasananya yang masih alami. Deretan pohon pinus dan bambu tumbuh menjulang, menciptakan bayangan rindang sepanjang jalur trekking. Suara air terjun sudah terdengar sejak jarak ratusan meter, menggema di antara celah bukit dan batuan besar.

Air terjunnya sendiri mengalir deras dari tebing setinggi kurang lebih 30 meter. Di bawahnya terbentuk kolam alami dengan air yang jernih dan dingin. Beberapa pengunjung memilih duduk di bebatuan besar sambil merendam kaki, menikmati udara sejuk yang konstan sepanjang tahun.

Sepanjang jalur menuju curug, pengunjung akan menemukan beberapa spot menarik seperti jembatan bambu yang melintang di atas sungai kecil, tanjakan licin yang disebut “tangga ular”, dan shelter-shelter kayu untuk beristirahat. Selain itu, kawasan ini juga menjadi habitat bagi beberapa spesies burung dan serangga yang langka. Jika beruntung, pengunjung bisa melihat kupu-kupu besar berwarna-warni menari di antara semak-semak.

Pak Dul, sosok yang akrab disapa warga sebagai “penjaga hutan”, telah ikut merintis Curug Lawe sejak awal. Ia menceritakan bagaimana perjuangan membangun tempat ini penuh tantangan. Mulai dari akses yang sulit, minimnya pendanaan, hingga persoalan sampah dari wisatawan yang kadang abai terhadap kebersihan.

Yang paling berat itu jaga kebersihan sama edukasi pengunjung. Nggak semua orang paham kalau tempat alami itu harus dijaga bareng-bareng,” ujar Pak Dul.

Ia menekankan pentingnya peran masyarakat dalam menjaga ekosistem. Dalam satu hari libur, bisa ada ratusan pengunjung datang. Namun, tanpa kesadaran bersama, keindahan Curug Lawe bisa rusak. Karena itu, pihak pengelola selalu menekankan pada edukasi lingkungan melalui papan peringatan dan pendekatan langsung ke pengunjung.

Kita bukan cuma jual pemandangan, tapi juga nilai-nilai. Kalau pengunjung pulang dan bawa pulang kesadaran buat jaga alam, itu sudah kemenangan buat kami,” tuturnya penuh semangat.

Di balik keindahan Curug Lawe, ada tangan-tangan masyarakat yang secara konsisten menjaga kawasan tersebut tetap lestari. Salah satunya adalah Bapak Dul, salah satu pengelola sekaligus warga setempat, yang sudah lebih dari sepuluh tahun ikut mengatur kawasan wisata ini secara mandiri bersama kelompok warga lainnya. Ia menyampaikan bahwa tidak ada bantuan besar dari pemerintah untuk mengelola kawasan ini secara profesional, namun masyarakat tetap berinisiatif untuk melestarikan lingkungan dan menjadikan Curug Lawe sebagai sumber rezeki sekaligus tempat edukasi ekowisata.

Kami warga sini patungan bikin jalan setapak, kasih tanda arah, bersihin sampah tiap hari,” ujar Bapak Dul. Ia menambahkan bahwa semangat gotong royong menjadi kunci utama dalam mengelola dan menjaga keasrian Curug Lawe. Tidak hanya untuk menarik wisatawan, tapi juga untuk memastikan bahwa alam tetap lestari bagi generasi berikutnya. Dalam penuturannya, ia juga menyebutkan bahwa masyarakat setempat ikut menanam pohon di sekitar area air terjun untuk menjaga kestabilan tanah dan mencegah longsor, terutama saat musim hujan.

Upaya konservasi ini tidak hanya dilakukan oleh warga. Beberapa komunitas mahasiswa juga sering mengadakan aksi bersih-bersih maupun penanaman pohon di area hutan sekitar Curug Lawe. Hal ini menjadi sinergi antara masyarakat, pecinta alam, dan generasi muda untuk menjaga lingkungan dari ancaman kerusakan. Meski pengelolaan dilakukan secara swadaya, pengunjung tetap dikenai tarif masuk sebesar Rp13.000 per orang, yang hasilnya digunakan sepenuhnya untuk perawatan jalur dan kebersihan area wisata.

Kendati belum dikelola secara maksimal oleh pemerintah, fasilitas di kawasan Curug Lawe sudah cukup memadai untuk mendukung aktivitas wisata. Terdapat area parkir yang dikelola warga, toilet umum, dan pos jaga di titik awal jalur pendakian. Di beberapa titik strategis, tersedia bangku dan saung untuk beristirahat sejenak setelah mendaki. Jalur trekking sepanjang 1,5 kilometer menuju Curug Lawe juga sudah ditata dengan baik. Jalannya sebagian besar berupa beton dan bebatuan alami, dan di beberapa tempat ada jembatan bambu sederhana yang dibuat warga.

Namun, Bapak Dul menyebutkan bahwa masih banyak hal yang perlu ditingkatkan, seperti penyediaan petunjuk arah digital, tempat istirahat yang lebih layak, serta sistem keamanan untuk mengantisipasi kondisi darurat. “Kami ingin pengunjung nyaman dan aman, tapi ya keterbatasan dana jadi kendala,” ujarnya. Ia berharap ada perhatian dari pihak pemerintah maupun komunitas untuk membantu memperbaiki fasilitas yang belum sempurna.

Tantangan utama dalam pengelolaan Curug Lawe adalah minimnya bantuan dana serta kurangnya perhatian dari pemerintah daerah. Selama ini, warga sekitar hanya mengandalkan iuran dari hasil tiket masuk dan donasi sukarela dari pengunjung. Selain itu, cuaca ekstrem dan potensi longsor menjadi kekhawatiran tersendiri, terutama saat musim penghujan. Meski begitu, warga tetap menjaga semangat dalam menjaga ekosistem sekitar curug agar tetap aman dan bersih.

Tantangan lain yang muncul adalah kurangnya kesadaran sebagian pengunjung akan pentingnya menjaga kebersihan. Masih ditemukan beberapa wisatawan yang membuang sampah sembarangan atau meninggalkan jejak negatif di jalur pendakian. Karena itu, pihak pengelola rutin memberikan imbauan dan papan informasi tentang pentingnya etika berwisata. “Kita terus edukasi pelan-pelan. Kalau ada yang buang sampah, kami tegur baik-baik,” ujar Bapak Dul.

Keberadaan Curug Lawe membawa dampak yang cukup signifikan bagi perekonomian masyarakat sekitar. Warga bisa membuka warung kecil, menyediakan jasa ojek dari bawah, hingga menjual hasil kebun di sekitar area parkir. Beberapa pemuda setempat bahkan menjadi pemandu wisata dadakan bagi pengunjung yang tidak familiar dengan jalur trekking.

Selain secara ekonomi, keberadaan Curug Lawe juga membawa dampak sosial yang positif. Warga menjadi lebih kompak dalam menjaga kampung, khususnya dalam konteks menjaga lingkungan dan mengelola wisata. Hal ini menjadi modal sosial penting dalam membangun desa berbasis ekowisata. Salah satu warga bahkan mengatakan bahwa ia lebih memilih menjaga Curug Lawe daripada merantau ke kota karena merasa bisa hidup dari alam sekaligus ikut menjaga warisan desa.

Salah seorang pengunjung asal Kota Semarang, Rizky (22), mengungkapkan bahwa ia sangat terkesan dengan keindahan Curug Lawe yang masih alami dan jauh dari kesan wisata massal. “Tempatnya asri banget. Masih sepi, tapi bagus buat healing. Semoga tetap terjaga kayak gini,” ujarnya. Ia juga berharap ke depannya pengelola bisa menambahkan fasilitas seperti tempat ganti pakaian atau warung di sekitar air terjun agar pengunjung bisa lebih nyaman tanpa harus turun kembali ke pintu masuk.

Ke depan, warga dan pengelola berharap Curug Lawe bisa terus berkembang tanpa kehilangan nilai kealamiannya. Bapak Dul menyampaikan bahwa mereka terbuka jika ada komunitas atau pihak luar yang ingin membantu secara sukarela. Harapannya, Curug Lawe bisa menjadi contoh tempat wisata berbasis masyarakat yang berhasil menjaga ekosistem sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga.

Curug Lawe bukan sekadar destinasi wisata alam biasa. Di balik suara gemericik air dan heningnya hutan, tersembunyi kisah perjuangan warga dalam menjaga dan merawat kekayaan alam mereka sendiri. Lewat gotong royong, kesadaran ekologi, dan keterlibatan komunitas, Curug Lawe menjadi potret nyata bagaimana tempat wisata bisa dikelola secara mandiri dengan prinsip keberlanjutan. Tak heran jika para pengunjung yang datang tak hanya membawa kenangan foto, tapi juga pesan penting tentang hubungan manusia dengan alam.

Penulis: Indra Cahya Vanleon (Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Semarang)

Tags

Related Post

Ads - Before Footer