Patung kera penjaga Goa Kreo berdiri kokoh di sisi jalur utama menuju kawasan wisata. Patung ini dibuat untuk menggambarkan legenda empat kera yang membantu Sunan Kalijaga saat mencari kayu jati untuk pembangunan Masjid Agung Demak, lalu ditugaskan menjaga goa dan sekitarnya. Keberadaan patung ini menjadi simbol kultural sekaligus titik awal bagi wisatawan mengenal nilai sejarah Goa Kreo, 26 Mei 2025.
Di pagi yang masih segar, saat sinar matahari belum sepenuhnya menyengat kulit, perjalanan menuju Goa Kreo terasa seperti menyusuri lorong waktu yang mengarah ke masa lalu. Jalanan berkelok di kawasan Gunungpati membawa rombongan kami ke arah selatan Kota Semarang. Pohon-pohon besar tumbuh rimbun di tepi jalan, membuat suasana seolah jauh dari hiruk-pikuk kota. Setelah melewati gapura besar bertuliskan “Wisata Goa Kreo”, suasana pun berubah. Udara terasa lebih sejuk dan suara alam mulai mengisi ruang pendengaran. Beberapa pengunjung tampak berjalan kaki dari area parkir bawah, menaiki anak tangga yang berliku menuju area loket. Di antara mereka, terlihat keluarga dengan anak-anak kecil, rombongan remaja dengan kamera tergantung di leher, serta pasangan muda yang terlihat antusias menyambut petualangan hari itu.
Setelah tiket masuk dibayarkan, pengunjung diarahkan menuju jalur menurun yang cukup panjang. Anak tangga beton membawa langkah kami perlahan mendekati permukaan air Waduk Jatibarang yang tenang membentang di kejauhan. Dari titik ini, pemandangan ikonik Goa Kreo menyambut dengan megah. Sebuah jembatan lengkung berwarna merah dan abu-abu membentang di atas permukaan waduk. Jembatan ini bukan sekadar jalur penghubung, tetapi telah menjadi simbol wisata Goa Kreo itu sendiri. Di sepanjang sisi kiri dan kanan, pengunjung berjalan dengan ritme santai. Sebagian berhenti sejenak untuk mengabadikan momen dengan latar pemandangan air dan pepohonan yang menghijau di seberang.
Yang menarik, sejak dari anak tangga hingga menjelang jembatan, beberapa monyet liar mulai menampakkan diri. Ada yang duduk di atas pagar batu, ada pula yang bermain di pohon atau bahkan berani mendekat ke arah kerumunan manusia. Namun, mereka tampak jinak dan sudah sangat terbiasa dengan kehadiran wisatawan. Monyet-monyet ini bukan hanya daya tarik visual, tetapi juga bagian dari kisah besar yang menyelubungi Goa Kreo. Konon, mereka adalah titisan para penjaga setia goa yang telah ditugaskan oleh seorang wali besar dari masa lampau. Meski begitu, pengunjung tetap dihimbau untuk berhati-hati dan tidak sembarangan memberi makan karena beberapa di antaranya bisa agresif jika terganggu.

Pengunjung memadati jembatan utama yang menjadi penghubung antara area parkir dan kawasan Goa Kreo, melintasi Waduk Jatibarang. Struktur jembatan yang ikonik ini tak hanya berfungsi sebagai akses utama, tetapi juga menjadi spot favorit wisatawan untuk berfoto, 26 Mei 2025.
Di tengah jembatan, sebuah bangunan beratap kecil berdiri dengan ornamen relief warna-warni yang mengisahkan legenda Goa Kreo. Angin waduk yang berhembus pelan membawa suara burung dan daun-daun yang saling bergesekan. Di sisi kanan, genangan air yang membentang luas memantulkan bayangan langit dan hutan di pinggir bukit. Suasana damai tercipta, menyatu dengan rasa penasaran. Setiap langkah terasa membawa lebih dekat pada kisah yang akan segera dikuak. Sebuah kisah tentang goa yang bukan sekadar lubang di perut bumi, tetapi juga pintu masuk ke dalam legenda, kepercayaan, dan kebijaksanaan yang telah diwariskan berabad-abad lamanya.
Namun Goa Kreo bukanlah sekadar kawasan wisata alam biasa. Tempat ini menyimpan kisah yang tertanam kuat dalam ingatan masyarakat, diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Legenda Goa Kreo lekat dengan sosok wali besar, Sunan Kalijaga, tokoh penting dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Dikisahkan bahwa saat pembangunan Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga ditugaskan mencari kayu jati sebagai tiang utama masjid. Dalam perjalanannya menuju selatan, beliau menemukan pohon jati besar di area yang kini dikenal sebagai Goa Kreo. Setelah pohon itu ditebang dan hendak dihanyutkan lewat sungai, kayu tersebut tersangkut di bebatuan sungai. Segala upaya dilakukan namun tidak berhasil, hingga akhirnya Sunan Kalijaga memilih bersemedi di sebuah goa di dekat bukit. Dalam keheningan doanya, datanglah empat ekor kera, merah, hitam, putih, dan kuning, yang kemudian membantu melancarkan proses penghanyutan kayu. Kayu berhasil dibelah dan dihanyutkan, namun keempat kera ingin turut serta ke Demak. Sunan Kalijaga menolaknya dan memberikan amanah agar mereka menjaga kawasan goa dan sungai tersebut. Beliau mengucapkan “Mangreho”, yang berarti jagalah atau peliharalah. Dari kata itulah kemudian muncul nama “Kreo”. Kini, legenda ini diabadikan melalui prasasti batu dan patung kera penjaga, yang menjadi ikon kawasan Goa Kreo hingga hari ini.
Secara administratif, Goa Kreo berada di Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, Jawa Tengah. Untuk menuju kawasan wisata ini, pengunjung bisa menempuh perjalanan dari pusat Kota Semarang melalui Jalan Kaligarang, lalu menuju Simongan dan Raya Manyaran Gunungpati. Tepat setelah melewati Klenteng Sam Poo Kong, terdapat pertigaan yang mengarah ke kawasan Goa Kreo. Dari titik tersebut, jarak tempuh ke lokasi wisata hanya sekitar sembilan kilometer dengan waktu perjalanan berkisar dua puluh lima menit menggunakan kendaraan bermotor. Meski jalurnya berkelok dan cukup menanjak, kondisi jalan teraspal dengan baik dan dilengkapi petunjuk arah yang jelas. Setibanya di lokasi, pengunjung disambut dengan gapura besar bertuliskan “Wisata Goa Kreo”. Tersedia dua area parkir yang luas, yaitu area atas khusus sepeda motor dan area bawah untuk kendaraan roda empat. Dari sinilah perjalanan menuju kawasan inti dimulai, menyusuri jalur menurun dan jembatan ikonik yang membentang di atas Waduk Jatibarang.
Daya tarik Goa Kreo tak hanya terletak pada goanya semata, melainkan juga pada pengalaman menyeluruh yang ditawarkan kawasan ini. Jembatan baja yang membentang di atas waduk menjadi pintu masuk utama menuju kawasan utama goa. Jembatan ini dilengkapi dengan ornamen lengkung berwarna merah dan area beratap di bagian tengah, yang menjadi tempat pengunjung berhenti sejenak untuk menikmati pemandangan. Relief warna-warni yang menggambarkan kisah legenda Goa Kreo terpahat di bagian atas, menjadi elemen edukatif sekaligus artistik. Di sekeliling jembatan, air waduk yang luas memberikan suasana damai dan menyejukkan. Pengunjung juga dapat menyaksikan monyet-monyet liar bermain di pepohonan sekitar atau bahkan duduk santai di pagar jembatan. Kawasan ini juga menjadi habitat alami bagi puluhan kera yang dianggap bagian dari sejarah spiritual tempat ini. Di ujung jembatan, pengunjung akan menapaki anak tangga menanjak untuk menuju Goa Kreo dan Goa Landak yang berada di sisi bukit. Jalur ini melingkar di antara pepohonan rindang, memberi sensasi petualangan kecil bagi setiap wisatawan yang ingin menelusuri seluruh area.
Sebagai destinasi wisata yang cukup lama berkembang, Goa Kreo telah dilengkapi berbagai fasilitas umum yang cukup memadai. Di area parkir tersedia toilet umum, tempat ibadah, dan deretan warung makan yang menjual aneka hidangan khas lokal. Kantin-kantin tersebut dikelola oleh warga sekitar, yang turut serta menjaga dan merawat kawasan wisata ini. Tidak jauh dari jembatan, terdapat taman dan tempat duduk yang bisa digunakan pengunjung untuk beristirahat. Beberapa titik juga menyediakan spot foto berbayar, dengan latar belakang Waduk Jatibarang dan hutan perbukitan. Untuk memasuki kawasan Goa Kreo, pengunjung cukup membayar tiket masuk sebesar Rp10.000 untuk dewasa dan Rp5.000 untuk anak-anak. Biaya parkir sepeda motor Rp3.000, sedangkan tarif spot foto dan wahana air ditentukan secara terpisah oleh pengelola. Kawasan ini buka setiap hari mulai pukul 07.00 hingga 17.00 WIB.
Goa Kreo bukan hanya dijaga oleh pihak pengelola wisata dan pemerintah kota, tetapi juga oleh masyarakat sekitar, khususnya warga Kelurahan Kandri. Keterlibatan mereka bukan sekadar menjaga kebersihan, tetapi juga sebagai pelaku ekonomi wisata, pemandu lokal, hingga penjaga warung makan dan toko cinderamata. Keterlibatan warga menjadi bukti bahwa keberadaan Goa Kreo adalah bagian dari kehidupan mereka sehari-hari. Namun, kawasan ini juga menghadapi beberapa tantangan. Di musim libur, jumlah pengunjung meningkat drastis, sementara di hari-hari biasa cenderung sepi. Hal ini berpengaruh pada pendapatan warga. Selain itu, keberadaan monyet yang terus bertambah juga menimbulkan kekhawatiran terkait keseimbangan ekosistem. Masyarakat berharap agar Goa Kreo tidak hanya dikunjungi sesaat karena viral di media sosial, tetapi dikelola secara berkelanjutan dengan konsep wisata edukatif, ekologis, dan partisipatif.
Di antara hijaunya pepohonan, air waduk yang beriak tenang, dan kisah kera penjaga dari masa lalu, Goa Kreo menyimpan lebih dari sekadar keindahan visual. Ia menyimpan nilai, legenda, sejarah, dan harapan. Tempat ini adalah ruang di mana generasi muda bisa mengenal nilai-nilai spiritual dan budaya sekaligus menikmati kekayaan alam. Di setiap anak tangga yang dinaiki, di setiap relief yang terpahat, dan di setiap kera yang melompat bebas, Goa Kreo menyampaikan pesan yang halus namun mendalam: bahwa menjaga warisan bukan hanya tugas para leluhur, tetapi juga tanggung jawab kita hari ini. Dengan terus hadir, merawat, dan berbagi kisahnya, Goa Kreo tak akan pernah menjadi hanya sekadar tempat. Ia akan tetap menjadi ruang hidup bagi alam, legenda, dan masyarakat.