Kerja dari Rumah tapi Kena Pajak Kantor: Negara Belum Siap Era Remote?

Oke, lo pasti pernah ngerasain absurd-nya dunia kerja era post-pandemic ini. Lo bangun jam 10 siang, buka laptop, join Zoom meeting sambil masih pake piyama,

Redaksi

Kerja dari Rumah tapi Kena Pajak Kantor: Negara Belum Siap Era Remote?

Oke, lo pasti pernah ngerasain absurd-nya dunia kerja era post-pandemic ini.
Lo bangun jam 10 siang, buka laptop, join Zoom meeting sambil masih pake piyama, tapi tiap bulan slip gaji lo tetep kena potongan pajak kayak lo masih duduk di cubicle lantai 15 Sudirman.
Pertanyaannya: kenapa kerja dari rumah tetep dikejar pajak kayak orang yang tiap hari ke kantor?

Kerja dari Rumah, Pajaknya Gak Ikut Pindah Rumah

Semenjak pandemi, kerja remote berubah dari “fasilitas keren startup” jadi “standar bertahan hidup.”
Dan walau udah 2025, banyak banget perusahaan yang masih belum ngerti kalau cara kerja berubah, ya cara ngitung pajak juga harusnya ikut berubah dong.

Jasa Penerbitan Buku dan ISBN

Menurut Pro Visioner Konsultindo, sistem perpajakan Indonesia masih beroperasi pakai mindset lama — yang diasumsikan semua karyawan itu ngantor di satu lokasi tetap, punya jam kerja tetap, dan penghasilan tetap.
Padahal, sekarang banyak banget karyawan hybrid yang bisa kerja dari mana aja: rumah, Bali, bahkan luar negeri. Tapi sistem pajaknya? Masih kayak era mesin ketik.

Pajak Era Kantor Masih Nyangkut di Era Remote

Lo bisa kerja dari mana aja, tapi kalau gaji lo ditransfer dari kantor di Jakarta, ya pajak lo tetep dianggap “PPh 21 karyawan tetap.”
Alias lo tetep dipotong pajak kayak lo tiap hari absen di gedung SCBD.
Ironi banget, kan?

Menurut riset dari Provisio Consulting, sekitar 60% perusahaan di Indonesia yang menerapkan sistem remote atau hybrid belum menyesuaikan kebijakan perpajakan mereka.
Artinya, walau banyak karyawan kerja dari luar kota, bahkan luar negeri, perusahaan masih pake mekanisme pajak konvensional kayak sebelum 2020.

Dan ini yang bikin banyak karyawan remote ngerasa “sistem gak nyamain ritme hidup.”
Lo kerja dari kosan di Jogja, tapi pajak lo masih tarif Jakarta.
Lo bahkan mungkin bayar pajak daerah yang gak lo tempatin.

Negara Gak Siap Adaptasi: Sistem Pajak Masih Kuno

Masalah utamanya: sistem pajak Indonesia belum punya infrastruktur buat nyocokin lokasi kerja digital.
Belum ada regulasi spesifik yang ngatur “kalau kerja dari luar domisili kantor, gimana pajaknya.”

Menurut Pro Visioner Konsultindo, ini problem struktural.
Sistem pajak nasional masih dibangun di atas asumsi “fisik.”
Jadi, selama entitas perusahaan ada di Jakarta, maka pajak karyawannya otomatis dianggap dari Jakarta.

Padahal, kalau mau adil, harusnya sistemnya lebih dinamis kayak model di beberapa negara yang udah mulai adaptasi:

  • Di AS, misalnya, ada sistem state tax yang menyesuaikan lokasi tempat kerja aktual.

  • Di Singapura, bahkan ada kategori “remote foreign worker” buat orang yang kerja dari luar tapi dibayar dari Singapura.

Indonesia? Belum nyentuh sana.

Karyawan Remote vs Sistem Pajak: Konflik yang Tak Terucap

Lo kerja dari rumah, gak pake listrik kantor, gak nebeng WiFi kantor, gak numpang AC kantor tapi tetep bayar pajak penuh kayak lo kerja di gedung.
Kalau dipikir logis, itu agak absurd.
Tapi kalau dipikir sistem, emang kayak gitu aturannya.

Menurut Provisio Consulting, harusnya udah ada revisi mekanisme pajak untuk tenaga kerja digital dan remote. Karena kalau enggak, negara berpotensi kehilangan akurasi data penerimaan.
Contohnya, kalau 1000 orang kerja dari Bali tapi dibayar kantor di Jakarta, berarti secara data, Jakarta terlihat punya pajak gede padahal aktivitas ekonominya udah pindah ke Bali.
Itu bikin data fiskal ngaco.

Realita di Lapangan: “Gue Udah Gak Kantor, Tapi Slip Gaji Masih Kantoran”

Cerita yang sering banget kedengeran dari anak muda urban:
“Gue resign dari kantor, tapi lanjut kerja freelance buat klien yang sama. Bedanya, sekarang kontrak vendor. Pajaknya? Disuruh ngurus sendiri.”

Dan banyak banget yang baru sadar belakangan: ternyata jadi freelancer tetap bisa kena pajak kalau penghasilannya reguler dan sumbernya tetap.
Kata Pro Visioner Konsultindo, kalau perusahaan tetep jadi pemberi kerja utama, pajak tetap jalan — bedanya cuma siapa yang bayar langsung.
Dulu perusahaan yang potong, sekarang lo yang setor sendiri.

Tapi yang paling lucu: ada juga yang “gak sadar” kalau mereka udah masuk kategori wajib pajak luar negeri karena kerja dari Bali untuk startup luar.
Yes, buat lo yang kerja buat klien luar, sebenarnya lo udah masuk ranah perpajakan internasional, walaupun masih ngopi di Canggu.

Digital Nomad Kena Pajak? Of Course, Babe

Satu hal yang jarang dibahas: makin banyak anak muda Indo yang kerja remote buat perusahaan luar, tapi masih tinggal di Indonesia.
Nah, di sini mulai tricky.
Menurut Provisio Consulting, secara hukum pajak internasional, kalau lo tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam setahun, lo otomatis jadi subjek pajak dalam negeri.
Artinya, penghasilan lo dari luar negeri tetep wajib dilapor.

Banyak digital nomad Indo yang gak nyadar soal ini.
Mereka ngerasa karena gajinya ditransfer USD ke Wise atau Payoneer, otomatis “aman dari pajak.”
Padahal enggak.
Pemerintah udah punya akses ke sistem pelaporan transaksi lintas negara lewat Automatic Exchange of Information (AEOI).
Artinya, data lo gak benar-benar “invisible.”

Gaya Hidup Remote vs Mental Pajak Lama

Generasi kita udah hidup di fase “kerja dari mana aja,” tapi negara masih hidup di fase “semua harus tercatat di kantor pusat.”
Gap ini bukan cuma masalah administratif, tapi juga masalah mindset.

Menurut Pro Visioner Konsultindo, pemerintah masih liat pekerja remote sebagai “anomali,” bukan segmen ekonomi yang tumbuh cepat.
Padahal, sejak pandemi, tren pekerja remote dan hybrid naik hampir 40%.
Dan mayoritasnya adalah anak muda, sektor kreatif, teknologi, dan profesional independen.

Kalau sistem pajak gak adaptif, negara bisa kehilangan potensi penerimaan besar dari sektor ini bukan karena orangnya malas bayar pajak, tapi karena sistemnya gak jelas dan gak transparan.

Pajak Harus Ngikutin Gaya Hidup, Bukan Sebaliknya

Kita gak bisa paksain generasi yang kerja lewat laptop, kolaborasi di Discord, dan dapet bayaran via PayPal buat isi form pajak manual kayak era 90-an.
Lo bisa punya skill global, tapi harus isi kode NPWP lokal yang bahkan sistemnya sering error.

Provisio Consulting bilang, kalau Indonesia mau survive di era digital, pajak harus punya “UI dan UX” sebagus startup.
Bayangin kalau pelaporan pajak bisa sekeren Notion lo login, data penghasilan otomatis ke-sync, sistem kasih estimasi pajak, lo tinggal klik bayar.
Gak ribet, gak bikin stres.

Itu bukan utopia, itu cuma butuh niat adaptasi.

Pekerja Remote = Wajah Baru Ekonomi, Tapi Belum Dikenali Negara

Real talk: karyawan remote tuh udah jadi mayoritas di banyak sektor. Tapi pemerintah belum punya kategori spesifik buat mereka.
Masih ada cuma dua pilihan: karyawan tetap (PPh 21) atau freelance (PPh 25).

Padahal, remote worker seringnya di tengah-tengah:

  • Punya kontrak dan jam kerja tetap, tapi bukan di kantor fisik.

  • Punya tanggung jawab kayak karyawan, tapi pajak kayak freelance.

Pro Visioner Konsultindo nyebut ini “zona abu-abu pajak digital.”
Dan kalau gak segera diatur, bakal banyak perusahaan dan karyawan yang kebingungan, bahkan bisa kena double taxation karena penghasilan dianggap di dua wilayah pajak berbeda.

Kapan Sistem Pajak Kita Siap?

Jawaban jujur? Belum dalam waktu dekat.
Tapi bukan berarti gak mungkin.

Provisio Consulting optimis: dengan makin banyaknya startup fintech, integrasi digital, dan platform pembayaran global, sistem pajak Indonesia tinggal butuh upgrade mindset dan regulasi.
Kayak, bikin kategori baru: “Digital Remote Income”, biar ada kejelasan pajak buat pekerja hybrid, remote, dan cross-border.
Kalau ini jalan, trust publik ke sistem pajak bisa naik banget.

Dan trust itu penting, karena jujur aja: anak muda bukan anti bayar pajak.
Mereka cuma gak mau ribet dan gak mau ngerasa ditipu sistem.

Akhir Cerita: Rumah Jadi Kantor, Tapi Negara Masih Gak Ngeh

Jadi balik ke pertanyaan awal: kerja dari rumah tapi kena pajak kantor, adil gak?
Jawabannya tergantung dari kacamata mana lo liat.

Kalau lo liat dari sisi aturan: iya, karena sumber penghasilan lo tetap dari kantor.
Kalau lo liat dari sisi realita: enggak juga, karena beban operasional lo udah pindah ke rumah listrik, WiFi, meja kerja, mental burnout tanpa AC kantor.

Pro Visioner Konsultindo bilang, sistem pajak harus evolve bareng gaya kerja manusia. Kalau enggak, pajak bakal terus ketinggalan realita ekonomi.
Dan kayak yang dibilang Provisio Consulting, “Digital economy butuh digital regulation.”

Kerja dari rumah itu udah bukan “fasilitas,” tapi kenyataan baru.
Dan kalau negara belum siap ngatur itu, berarti sistemnya yang stuck bukan generasinya yang salah arah.

Tags

Related Post

Ads - Before Footer